Nur Rahmaniah
Nur Rahmaniah

Cerpen 1



Senyum Pengamen Cilik

Tubuhku terasa sakit semua. Bahuku sangat pegal. Seakan habis memikul puluhan kilogram beras. Punggungku terasa sakit karena berjam-jam duduk tegap dihadapan komputer yang juga melelahkan mataku. Langit pun belum menyembunyikan mataharinya. Padahal jam tanganku sudah menunjukkan pukul enam sore. Udara masih sangat panas bercanpur dengan asap knalpot kendaraan. Tapi aku cukup puas dengan AC mudilku ini. Hanya sayangnya sudahhampir 15 menit mobilku belum bergerak selangkah pun juga. Memang sangat macet jalan ini sebab semua orang berlomba mencapai tujuan.

Hal yang paling ku inginkan saat ini adalah terbebas dari macet, sampai ke rumah, mandi dengan air dingin yang menyegarkan tubuhku, dan secangkir the hangat. Namun dalam sekejap lamunanku buyar oleh gadis kecil yang mengetuk kaca mobilku. Segera ku buka kaca itu dan dengan cepat dan sangat kasar ku serahkan uang Rp. 5.000 yang ku ambil dari kantong celanaku. Gadis kecil dengan alat musik yang terbuat dari tutup botol bekas yang tergantung dengan sepotong kayu kecil itu segera mengambil uang Rp. 5.000 yang ajuh di kakinya. Padahal, belum empat ia menyelesaikan lagunya. Dan segera aku menutup kaca mobilku kembali dan mengabaikan sejumlah pasang mata yang memperhatikan betapa kasarnya aku terhadap pengamen cilik itu dan senyum pengamen cilik yang di berikan kepadaku .

Sesampainya di halaman parkir rumahku, segera ku tinggalkan mobilku dan bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku yang sangat letih ini. Dan setelah shlat Isya nanti akan ku selesaikan tugas-tugas kantor yang sengaja ku bawa pulang ke rumah.

XXX

Sudah setengah jam dan sudah hamper setengah alum Nidji yang terbaru ku dengarkan Tapi belum juga kedua mataku ini bias terpejam. Padahal, tubuhku ini sudah sangat lelah karena setumpuk pekerjaan di kantor dan di rumah yang sebenarnya juga pekerjaan dari kantor. Kenapa senyum pengamen cilik itu terus memayangiku ? Kenapa ?

XXX

Suara riuh rendah mewarnai rumah makan SEDAP yang letaknya tepat di samping kantorku . Pukul satu sianglah puncak kesibukan di rumah makan ini. Letaknya yang dikelilingi perusahaan-perusahaan membuat tempat inilah yang paling dirindukan para karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan itu saat rasa lapar menyerang mereka.

“Kamu kok kelihatan lemas , Key, Kamu sakit ?” tanya Rifa yang sedang menikmati kentang gorengnya.

“Aku sendiri gak tau, aku kenapa. Pasti ini semua karena anak itu. “kataku memulai cerita.

“Anak ?”

“Kemarin sore, aku terjebak macett. Terus ada pengamen cilik mengetuk kaca mobilku. Terus nyanyi gak jelas gitu. Sebelum lagunya selesai, aku langsung mengambil uang Rp. 5.000 di kantongku dan kulemparkan ke anak itu. Anehnya, anak itu malah tersenyum. Dan senyumnya itu yang bikin aku gak bisa tidur semalaman dan jadi kayak gini.”

Hening sesaat.

“Kamu kok diam aja. Kasih pendapat donk, kasih solusi.” Rifa hanya tersenyum.

“Kamu mau ngikutin anak itu, ganggu hidupku dengan senyummu.

“Semua orang punya caranya sendiri buat mengucapkan rasa terimakasih. Sikap kasar kamu itu sudah makanan kesehariannya. Kamu mau membuka kaca mobilmu aja itu sudah suatu kebaikan bagi dia. Gak anak seberuntung Keysa kecil. Dan gak semua orang bisa kamu perlakukan seperti itu. Gak semua.”perkataan Rifa menyadarkanku. Dan mataku menunjukan kaca-kaca yang siap pecah menjadi air mata.

“Kamu tahu gak. Kenapa Allah mengijinkan senyum itu membayangimu terus. Karena Allah ingin kamu menyadari perbuatanmu dan Allah ingin kamu tahu betapa bahagianya nak itu. Dia tidak sakit hati sedikitpun. Tapi kamu idak boleh seperti itu lagi, Key.”

“Terus, aku harus napain.” Tanyaku dalam tangis penyesalan.

“Kamu harus minta maaf pada anak itu.”

‘Tapi, aku tidak tau di dimana. Pengamen cilik itu jimlahnya banyak di kota ini dan mereka ada di mana-mana, tidak hanya satu tempat.

“Kamu serahin aja semuanya padaku.”

“Beneran.’ Rif kamu mau bantu aku.”

Rifa mengangguk dan berkata “Asal kamu mau berubah”.

“Pastinya donk Plend.”

XXX

Sepulang dari Kantor, aku dan Rifa menuju tempat pengamen cilik itu memberikan senyumnya. Aku yakin ditempat yang sama dan waktu yang sama, pasti aku menemui gadis itu kagi. Namun, ternyata dugaanku salah, aku dan Rifka sudah berusaha mencari anak itu tapi hasilnya nihil.

“Kita harus cari anak itu kemana lagi, Rif.”

“Tenan aja, aku masih punya banyak cara kok. Oh ya, kamu punya duit kan,”

“Berapapun akan ku berikan buat anak itu.”

“Bukan buat anak itu. Gini Loh, Kita harus cari ketempat tiggal atau tempat ngumpul mereka. Tapi kita kesana tidak bisa dengan tangan kosong. Soalnya, aku yakut mereka curiga.”

“Curiga kenapa ?” tanyaku penasaran

“Curiga kalau kita itu agen penjualan anak. Jadi, kita kita kesana membawa nasi bungkus untuk dibagikan kepada mereka. Habis itu lakukan pendekatan, terus Tanya, deh. Tenang aja, ntar aku ikut nyumbang, kok. Selain mencari pengamen cilik itu kita juga bisa beramal, kan.”

Rifa anaknya pinter banget. Aku bersahabat dengan dia sejak SD. Di saat aku ada masalah Rifa selalu memberiku solusi. Dan semua solusinya itu gak pernah menyusahkan aku atau menambah masalah. Aku menyebutnya sebagai “Sahabat Pengadaian”. Karena Pengadaian punya moto menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Saat SMP, aku baru mengenl yang namanya cowok. Aku pernah suka sama Ketua OSIS ku yang yang juga siswa teladan dan kapte Basket di sekolahku. Tapi aku takut cintaku ini tak terbalaskan. Namun Rifa berusaha untuk membantu ku. Hingga akhirnya itu yang bertekuk lutut padaku.

Rifa memang bisa menyelesaikan semua masalahku. Semua masalahku tentang apa aja. Namu anehhnya dia selalu menemukan masalah-masalah besar dalam hidupya.

Ia besar dalam keluarga yang Broken Home. Ayahnya meninggalkan Ibu dan kedua anaknya untuk menikah dengan wanita yang lebih kaya. Sekarang ia hanya memiliki ibunya yang mengalami kelainan jiwa.

Ibunya sakit jiwa setelah kakak laki-laki Rifa yang terbujur kaku di kamarnya karena overdosis. Kakaknya adalah anak kesayangan mamanya. Mamanya juga menggantungkan hidup pada kakanya., karena hanya kakanyalah yang sudah bekerja. Mamanya benar-benar tidak menyangka anaknya bisa salah pergaulan. Mamanya menyalahkan semuanya pada Rifa. Karena Mamanya berfikir kehadiran Rifa dikeluarganya yang membuat kesialan-kesialan itu hadir.

Setelah peristiwa meninggalnya kakanya itu. baru ia tahu bahwa dia bukan anak kandung mamanya. Tapi anak selingkuhan Ayahnya. Aku kagum pada Rifa. Kerasnya hidup tak pernah membuat dia mau dikasihani orang. Bahkan, ia berusaha menyelesaikan masalah orang lain dan mencoba membuat semua orang tersenyum. Dengan penuh kasih saying ia merawat mamanya yang bukan orang tua kandungnya. Namun tiap hari ia menyempatkan waktu untuk menjenguk mamanya di Rumah Sakit Jiwa walau kehadirannya tak pernah dirindukan oleh mamanya.

Rifa, kaulah inspirasi dalam hidupku. Kaulah motivator paling ampuh dalam hidupku. Dan, kaulah saudaraku.

“Nah, disni tempat tongkronga mereka. Yuk, kita sama-sama bagikan nasi bungkusnya” Rifa membuyarkan lamunannya.

Aku hanya menganggut semangat.

Kuberikan nasi bungkus satu persatu kepada anak jalanan itu. Dengan sangat lembut perlkuan yang sangat bebeda dari sehari sebelumnya. Saat aku melihat senyum tulus dari pengamen cilik itu. Mereka menerimanya dengan ucapan terima kasih dan senyuman yang sama. Senyuman yang polo ditengah dinginnya kehidupan malam di kota ini.

Ku dekati salah satu anak perempuan yang tengah menikmati nasi bungkusnya.

“Selamat malam.”

“Selamat malam, ka. Terima kasih ya ka, nasinya enak sekali.”

“Sama-sama Adik, O yah Adik kenal dengan anak perempuan seumuran kamu yang bekerja sebagai pengamen, rambutnya sebahu, dan…..” aku mulai mengingat-ingat cirri-ciri anak itu yang mungkin tak dimiliki oleh anak-anak lainnya.

“ Oh ya, dia memakai kalung yang bermata huruf D walau hanya sekejap alu melihat anak itu tapi aku sempat memperhatikan kalung yang dipakai anak itu.

“Oh , itu namanya Dewi.”

“Dewi ? Kalau kamu namanya siapa ?”

“Siti” jawab anak itu

“OK, Siti kamu bisa antar kakak ketempat Dewi”

“Maksudnya ke rumahnya ?”

“Iya”

“Bisa-bisa, rumah gak jauh dari sini kok, ka.”

Segera aku memanggil Rifa yang sedang asyik bercanda dengan anak jalanan lainnya. Siti membawa kita ke subuah rumah kardus.

“ Dewi ada yang mau ketemu sma kamu.” teriak Siti.

Keluarlah sesosokanak perempuan yang raut wajahnya menggambarkan betapa kejam hidup ini.rot matanya terlihat begitu semangat menghadapi tantangan hidu ang mestinya belum ia dapatkan dalam usianya yang masih sangat dini. Ku ndahkan tubuhku hinggasjajar dengannya.

“Kamu masi ingat Kaka ?” nada suara penyesalanku.

“masih, Ka.” Suara yang lembut yang keluar dari bibir yang perbah mengukir senyum inah.

“Maafin Kaka, ya.”

“Maa untuk apa, Ka ?” tanyanya polos.

“Kaka sudah bersifat kasar sama kamu. Kaka waktu itu capek. Kakak gak bisa ngontrol emosiKakak.”

“Kaka gak usah minta maaf. Seharusnya, aku yang meminta maaf sama, Kaka.”

“Minta maaf kenapa ?”ini aku yang balik bertanya.

“Kemarin Kaka ngasih aku uang terlalu besar. Aku pengen ngasih uang kembalian buat Kaka. Tapi uangku gak cukup. Makanya aku uman ngasih senyuman buat Kaka. Walau sebenarnya aku sadar senyumanku gak senilai.

Mandengar perkataan Dewi, Rifa menangis dan berlari ke mobil. Mungkin ia teringat dengan masa kecilnya. Ia yang mantan anak jalanan. Ya Allah, uang 5.000 bagiku itu ecil banget. Tapi bagi Dewi…astagfirullah.

“Dewi itu buat kamu. Kakak ikhlas.”

“Makasih ya, Ka.”

“Oh ya Kakak mau tanya. Tadi sore Kakak cari kamu di tempat kemarin kita ketemu.
Tapi kamu gak ada. Kamu gak kerja hari ini ?”

“ Gak, Ka.”

“Kenapa ?”

“Tadi malam ibuku batuk – batuk. Terus, keluar darah. Untung aja ada uang 5.000 dari Kakak. Uang itu aku pakai untuk beli obat buat ibu. Tapi ibu gak sembuh – sembuh sampai sekarang.”

“Ibu Dewi dimana ?”

“Di dalam.”Dewi menunjuk rumah kardus kecil yang siap hanur denagn hujun selama 5 menit.

Ku lihat di dalamnya ada seorang wanita setengah aya berwajah pucat yang terbaring di samping segelas air putih dan sebuah botol sirup obat batuk yang sudah osong. Uang 5.000 memang hanya cukup untuk satu botol obat itu. Tangisku pcah dan kuhamburkan diriku keluar. Segera ku peluk erat tubuh Dewi. Sekejap ku lihat Siti yang berdiri tepat di samping iti menitikan air matanya. Dan ku rasakan bahuku basah oleh air mata Dewi.

oleh nur rahmaniah
0 Responses

Posting Komentar