Nur Rahmaniah
Terlupakan, Tapi
Tak Tergantikan

Tempat tidur, selang infus, botol infus, tv, dan lemari setia menemani Tasya. Di rumah sakit, di kamar Flamboyan 3 Tasya hanya bisa terbaring lemah. Peristiwa dua minggu yang lalu yang membuat Tasya akhirnya ada di kamar ini.

Peristiwa dua minggu yang lalu…

Pagi cerah, terlihat erat persahabatan mentari dan embun. Seerat genggaman Tasya dan Gisha saat memasuki gerbang SMA Damai 01 . Mereka bersahabat sejak kecil. Rumah mereka berdekatan dan mereka selalu satu sekolah. Namun, sifat mereka dan keadaan keluarga mereka sangat berbanding terbalik. Sifat Tasya yang feminim, lembut, sabar, pintar, memiliki segudang aktifitas, dan keadaan keluarga yang sangat harmonis. Sedangkan, Gisha cewek yang tomboy, berani, dan hidup dalam keluarga yang kurang harmonis. Mamanya Gisha sudah meninggal saat Gisha masih berumur 8 tahun. Sekarang ia hidup hanya dengan Papanya karena Gisha adalah anak tunggal. Papanya hanya seorang pengangguran yang hobi berjudi, tiap hari kerjanya hanya minum – minuman keras. Gisha selama ini hidup dan sekolah dengasn biaya dari Neneknya. Tapi, Gisha juga punya kerja sambilan sebagai penjaga warnet di dekat rumahnya. Karena uang kiriman dari Neneknya sering digunakan Papanya untuk berjudi dan membeli minum – minuman keras. Dan hampir tiap hari Gisha dipukuli oleh Papanya kalau Papanya kalah judi dan mabuk.
Meskipun perbedaan di anata mereka sangat besar. Tapi mereka tetap bersahabat. Karena Tasya tau temannya sangat tegar menjalani hidupnya. Ia pun berjanji di dalam hatinya untuk selalu menemani Gisha di saat susah dan senang. Dia akan menerima Gisha apa adanya. Dia sangat bersyukur punya sahabat sepeti Gisha. Karena setiap dia mendapat masalah dalam hidupnya, yang selama ini membuatnya tegar adalah Gisha. Gisha dan Tasya inginselalu bersahabat, selamanya. Tasya sangat bangga punya sahabat seperti Gisha. Begitupun juga Gisha ia sangat bangga punya sahabat seperti Tasya yang pintar dan cantik, yang mau menerima dia apa adanya. Namun, akhir – akhir ni Gisha merasa Tasya semakin jauh darinya. Mungkin karena aktifitas – aktifitas Tasya yang sangat padat sangat menyibukkan dirinya. Tasyamengikuti berbagai les dan berbagai kegiatan. Salah satunya adalah PMR, karena Gisha ingin Indonesia terlepas dari Narkoba. Tasya paling benci sama yang namanya Narkoba. Di PMR dia bisa membantu para aktifis untuk memberantas Narkoba. Gisha sering menelepon Tasya untuk curhat setelah dipukuli oleh Papanya. Tapi Tasya sudah sangat jarang mengangkat telepon dari sahabatnya itu. Ia hanya bisa mengirim sms.
Sorry, y, Gish. Aku gak bisa ngangkat telponmu.
Coz, aku lagi sibuk, nih.
Setelah membaca sms itu, Gisha Cuma bisa menangis. Menahan sakit di tubuhnya karena luka pukulan dari Papanya. Satu – satunya harta yang paling berharga yang dia miliki sekarang adalah sahabatnya, Tasya. Tapi ia merasa harta itu perlahan –lahan igin lepas dari genggamannya. Tasya sering melupakannya. Gisha yang tegar cuma bisa berdoa dan memberikan pengertian buat Tasya.
Gisha dan Tasya punmemasuki kelas.
“ Assalamualaikum anak – anak. “ Pak Leo guru kesiswaan yang terkenal tegas dan sangat disiplin memasuki kelas mereka diiringi duasiswa yang tergabung dalam polisi sekolah.
“ Walaikumsallam, Pa. “ seisi kelas pun menjawab salam dari Pak Leo.
“ Pagi ini Bapak akan mendadak mengadakan razia mendadak. Razia ini diadakan karena adanya kabar bahwa ada salah satu siswa kelas satu di sekolah ini yang mengkonsumsi Narkoba. “ tegas Pak Leo.
Seluruh siswa pun kaget. Begitupun juga, Gisha dan Tasya. Mereka semua benar – benar gak ada yang nyangka karena yang mereka tau sekolah mereka adalah seklah favorit di Balikpapan dan gak mungkin ada pemakai di sekolah ini. Gisha keringat dingin. Jantungnya berdegup kencang. Ia sangat bingung mau di taruh di mana putau seberat 3 gr di tasnya. Sedangkan, salah satu siswa suruhan Pak Leo sudah sampai di bangku di depannya. Dia benar – benar panik. Gisha sudah seperti pejabat yang tertangkap bassah korusi di depan anak buahnya yang juga bakalan ketahuan sama anak dan istrinya. Pemandangan itu ternyata tidak lepas dari mata indah Tasya.
“ Kamu kenapa, sih ? nyantai aja lagi. Kita bukan pemakai kok. Ngapain kita takut.”
Tasya mau ngomong apa aja gak bakalan didengerin sama Gisha. Gisha konsen bange sama Ruvi, salah sau siswa kesayangan Pak Leo. Akhirnya, Ruvi pun sampai tpat di samping Gisha dan siap membongkar tasnya.
“ Kenapa mukamu pucat, tenang aja, kalau kamu ketauan makai hukumannya gak berat – berat banget kok. Cuma dikeluarkan dari sekolah ini. Lagipula kalau kamu dikeluarkan dari sekolah ini gak bakalan ada yang sedih kok. Anak kaya kamu itu memang gak pantas masuk sekolah ini. “ Ruvi mencoba menakuti Gisha yang semakin terlihat panik.
Gisha Cuma bisa tertunduk mendengar kata – kata itu dari mulut Ruvi. Kalau sampai dia dikeluarin dari sekolahnya. Dia merasa bersalah banget sama Neneknya. Neneknya sudah rutin ngirimin uang buat biaya sekolah Gisha. Pastinya Neneknya berharap Gisha bisa jadi kebanggan Neneknya.
“ Ruvi, kamu ngomong apaan, sih. Mana mungkin Gisha nyimpan barang haram itu. Penampilannya boleh sangar. Tapi dia anak yang baik – baik, kok. “ Tasya mencoba membela.
Tapi pembelaan Tasya hanyalah sia –sia. Karena tangan Ruvi sudah megenggam putau yang ia dapat dari tasnya Gisha. Gisha nyaris pingsan. Seluruh badannya lemas.
“ Tuch, kan apa ku bilang. Temanmu ini pemakai. Dia gak pantas jadi sahabatmu, Tas. “ Ruvi tersenyum puas.
“ Kamu apa – apaan, sih. Bikin malu aku aja tau gak. Oh…pantas kemarin waktu aku ajak kamu ikutan komunitas Anti Narkoba kamu gak mau ikutan. Karena kamu bagian dari obat – obatan itu. Kamu lebih cinta dan saying kan sama barang itu dari pada sama sahabatmu sendiri. Aku kecewa sama kamu, Gish. Aku bener – bener nyesel bersahabat sama kamu. “
“ Aku bias jelesin semuanya sama kamu, Tas.”
“ Akh, aku gak mau denger apa – apa dari mulutmu. “
Tasya meninggalkan Gisha yang beurai air mata malu dan takut. Gisha terus berteriak memanggil namanya. Tapi ia rasa marahnya dan air mata yang mengalir dari matanya terus mengajaknya pergi menjauh dari Gisha. Berlari. Tasya berlari tanpa tujuan. Tasya malu, kesel, marah. Tasya berlari hingga keluar sekolah. Berlari tanpa kesadaran hingga hingga sebuah mobil sedan menghantam tubuhnya. Dan akhirnya ia dirawat di rumah sakit ini.
◊◊◊
“ Assalamualaikum, “ mama Tasya memberi salam.
“ Walaikumssalam, Ma. “
“ Hari ini Mama punya kejutan buat kamu. “
“ Pasti, Ma. Kejutan apa aja dari Mama pasti aku bakalan senang. “
“ Ok, Mama Bantu kamu naik kursi rodanya ya. “
Tasya senang banget mandengarnya. Sudah dua minggu ia berada di dalam penjara buat orang sakit ini. Akhirnya, dia mendapatkan kejutan yang bisa memberi warna untuk hari – harinya di rumah sakit. Dalam benaknya ia membayangkan kejutan itu adalah sesuatu yang paling dia senangi. Seperti melukis di taman, bernyanyi atau sekedar foto – foto. Tapi dalam sekejap semua khayalan itu hilang saat kursi rodanyamemasuki salah satu kamar di rumah sakit itu. Bukan ke taman.
“ Mama, kita mau kemana ? “
“ Kamu lihat anak gadis yang terbaring di atas tempat tidur itu ? “
“ Dia siapa, Ma ? “ Tasya penasaran.
“ Dia adalah seorang gadis yang masa kecilnya ia habiskan denganmu. Yang setia mendengarkan curhatanmu, melindungimu, menyayangimu. Dialah gadis itu. “
“ Ma, aku pengen di sampingnya. “ mata Tasya beurai air mata. Ia menyesal telah membayangkan semua itu. Ia sama sekali gak ngebayangin hal ini. Meski rasa kecewa terhadap Gisha dan barang haram itu masih ada, tapi hatinya d\gak bisa dipungkiri kalau dia kangen dan pengen Gisha menjenguknya. Tapi yang terjadi malah sebaliknya, dia yang menjenguk Gisha.
“ Gisha… “ sapa Tasya.
Mereka berpelukan. Erat. Semua orang yang ada di kamar itu, keluarganya Gisha dan Mamanya Tasya pun ikut tenggelam dalam ait mata kerinduan dan persahabatan.
“ Kamu kenapa kok bias seperti ini ? “ Tasya memandang tubuh lemah sahabatnya.
“ 3 hari yang lalu aku OD, Tas. Aku overdosis karena setelah mendengar sanksi dari sekolah kalau aku harus dikeluarkan setelah tes kesehatan bahwa aku benar seorang pemakai. Aku juga dari dulu seorang buronan polisi karena aku seorang pengedar. Aku yakin setelah pihak sekolah mengetahui aku seorang pemakai, polisi akan mudah menangkapku. Aku malu, Tas. Aku takut. Aku ngerasa aku sudah kehilangan sahabatku. Aku gak bisa berbagi siapa – siapa lagi. Dan aku mutusin berteman lebih dekat sama obat – obatan itu.. Dan akhirnya semuanya gelap. Hingga aku bertemu denganmu di sini.
“ Kenapa kamu melakukan semua ini. “ bentak Tasya beserta uraian air matanya.
“ Maafin aku, Tas. Mulanya aku Cuma coba – coba. Setelah aku merasa perlahan – lahan kamu mulai ngelupain aku. Kamu sibuk sama kegiatan – kegiatanmu itu. Sama semua teman – temanmu yang cerdas itu. Yang kalau dibandingkan dengan aku, aku itu gak ada apa – apanya dibandingkan sama mereka. Aku butuh kamu, Tas. Saat aku dipukuli sama Papaku. Kamu dimana ? Kamu sibuk sama teman – temanmu. Saat aku dijauhin sama semua orang. Kamu sibuk sama kepopuleranmu. Aku cari pelarian dengan memakai barang haram itu. Aku sudah ketergantungan. Dan asal kamu tahu aja. Aku dipecat. Aku jadi pengedar buat ngebiayain hidupku. Kamu ada di mana saat aku ada di posisi sulit seperti itu ? “ Gisha mengeluarkan semuanya. Semua itu yang membuatnya seperti ini.
Tasya hanya bisa tertunduk. Menangis. Menyesal. Semua orang yang mendengarnya pun kaget. Mereka semua tertipu oleh keakraban mereka. Padahal, ada masalah besar di antara mereka. Akhirnya semuanya tahu. Dan Tasya memendam penyesalan yang sangat besar.
Keluarganya Gisha pun kaget. Ia tidak menyangka kalau Gisha keluarga kandung mereka luput dari perhatian mereka. Gisha menghadapi kehidupan yang kejam ini sendirian. Kemana Papanya ? Mereka sangat kecewa sama Papanya Gisha.
“ Maafin aku kalau aku selama ini sudah ngelupain kamu. Kalau aku sudah ngelupain kamu. Aku tahu aku memang gak pantas jadi sahabat sejati untukmu. Aku…maafin aku, Gish. “ Tasya sudah tidak bisa berkata – kata lagi dia benar – benar menyesal.
“ Sudahlah, lebih baik kita lupain semuanya. Penyesalan ini sudah gak ada artinya. Sekarang, kita harus bisa mengambil pelajaran dari semua ini. Kita harus saling lebih mengerti. Kita gak boleh egois lagi. “
Tasya memeluk tubuh sahabatnya. Semuanya telah berakhir. Kegelapan dalam hidup Gisha, teranglah sudah. Keegoisan Tasya, runtuhlah sudah.
“ Alhamdulillah. “ mama Tasya mengucap syukur. Melihat anaknya begitu dewasa mengatasi masalah yang timbul dalam kehidupannya. Yang mungkin untuk selanjutnya akan lebih sulit lagi. Air mata penyesalan menjadi air mata syukur atas anugrah cinta persahabatan. Nuansa lemah dalam rumah sakit ini, menjadi begitu semangat dalam jiwa persahabatan.
◊◊◊
Seminggu setelah keharuan itu. Akhirnya, Gisha menghirup udara kesehatan. Tasya yang lebih dulu keluar dari rumah sakit. Berniat memberi kejutan di rumah Gisha atas kepulangan sahabatnya. Gisha merasa sangat bahagia. Tak pernah ia merasakan ini selama hidupnya. Semua orangyang sayang sama dia hadir memperlihatkan senyum untuk menyambutnya. Ini semua berkat Tasya.ia peluk tubuh sahabatnya. Mereka larut dalam dekapan persahabatan. Harta yang ia miliki yang lebih berharga dari semua hal dalam hidupnya, adalah Tasya.
“ Gisha, bulan depan Om ingin kamu masuk ke panti rehabilitasi untuk mengobati semuanya. Untuk melepaskanmu dari dunia hitam itu. Papamu juga sudah setuju, kok. “
Gisha hanya menjawabnya dengan senyuman. Ia tahu yang dikatakan oleh Papanya Tasya itu demi kebaikannya. Tapi, ia takut Tasya meninggalkannya lagi. Kembali melupakannya. Dan sibuk dengan kehidupannya yang dulu. “
“ Tenang aja, Gish. Aku bakalan sering – sering jengukin kamu, kok. “ seakan Tasya bisa membaca pikiran Gisha.
Tasya mencoba lebih dekat dan lebih peduli sama Gisha. Tasya akan berusaha untuk membantu sahabatnya keluar dari dunia hitam itu. Mencoba untuk mencerahkan kembali masa depan sahabatnya.
◊◊◊
“ Inilah tempat yang ku dambakan selama ini. Tempat yang akan membawaku ke dalam dunia yang sebenarnya. Bukan kehidupan dengan penuh penipuan “ gumam Gisha dalam hati sambil menatap gedung sederhana yang bernama Panti Rehabilitasi “ Al – Taubah “ yang ada di depannya.
“ Kamu baik – baik ya Gish di sini. Jangan bikin ulah. Di sini bukan kaya sekolah kita, kamu bisa belajar seenaknya. Teman – temanmu di sini juga bukan kaya anak – anak di sekolah kita yang bisa kamu jailin seenaknya. “ walaupun darikata – katanya seperti menasihati dengan lelucon – leluconnya tapi air mata Tasya tidak bisa bertahan di matanya.
Tasya akan merasa sangat sedih karena akan kehilangan sahabatnya. Tapi Gisha harus direlakannya. Karena dia juga ingin Gisha kembali ke jalan yang benar.
“ Saya titip Gisha ya Pak Ustadz. Kalau ada apa – apa Pak Ustadz bisa menghubungi saya. “ kata Papa Tasya, om Ridwan.
Semenjak Gisha kenal dengan Tasya. Gisha merasa memiliki dua keluarga. om Ridwan dan tante Lia, mamanya Tasya sudah Gisha anggap sebagai orang tuanya sendiri. Mereka selalu menyayangi Gisha seperti anak mereka sendiri. Gisha pun merasa nyaman bila berada di lingkungan keluarga mereka. Bahkan, lebih aman dari keluarganya sendiri.
Keluarganya Tasya sudah sangat sering membantu Gisha. Seperti saat ini, om Ridwan yang mengusulkan Gisha untuk direhab. Om Ridwan juga yang membebaskan Gisha dari hukuman sebagai poengedar dan pemakai narkoba. Entah apa yang dilakukan om Ridwan hingga Gisha hanya beberapa mendekam di tahanan. Keluarga mereka sangat peduli dengan masa depan Gisha. Karena itulah mereka melakukan semua ini.
◊◊◊
Detik demi detik. Jam demi jam. Hari demi hari. Minggu demi minggu. Dan bulan demi bulan Gisha lewati di panti rehab dengan terus belajar untuk mengubah dirinya. Dan akhirnya hari ini tiba. Orang – orang yang mengantarnya ke panti ini kembali menjemputnya untuk keluar menuju dunia yang sebenarnya. Kehidupan yang penuh dengan tantangan masih akan ditemuinya. Tapi pelajaran yang ia terima selama ia direhabilitasi akan sangat membantunya. Lima bulan tidak bertemu sahabatnya. Tasya menghamburkan diri memeluk sahabatnya. Saat melihat sahabatnya telah rapi dengan tas – tasnya untuk pulang kembali ke rumahnya. Rasa senang dan banggas untuk sahabatnya yang bisa menghadapi segala cobaan dan bisa mengubah dirinya.
Perubahan besar nampak pada diri Gisha. Semula tingkah laku Gisha tak ubahnya seperti lelaki. Tapi sekarang ia bisa lebih anggun dai pada Tasya. Semula pakaina yang ia pakai tak jauh seperti lelaki. Tapi sekarang pakaian yang sopan dan rapi menyelimuti tubuhnya. Dulu ia begitu bebas berbicara tanpa memperhatikan sopan santun. Tapi sekarang sangat sopan kata – kata yang keluar dari bibir mungilnya. Tasya, om Ridwan, tante Lia tersenyum puas bahagia. Ternyata panti rehab ini dapat mengubah gadis ini menjadi lebih baik. Papanya Gisha hanya bisa tersenyum melihat anak semata wayangnya ini berubah total.
◊◊◊
Mentari kembali ke tempat istirahatnya setelah seharian menerangi bumi dan malam pun tiba. Gisha terus menunggu Papanya yang sejak tadi beluim kunjung pulang.
“ Tok, tok, tok “ tiba – tiba saja ada orang yang mengetuk pintu rumahnya dengan sangat kasar. Ia segera menghamburkan diri membuka pintu rumahnya. Ia melihat seorang lelaki mmemakai jaket kulit dengan satu botol minuman keras di tangn kirinya dan satu senjata api di tangan kananya, yang tak lain adalah Papanya sendiri.
“ Dorr. “ dalam sekejap peluru dari pistol itu menembus kening Gisha.
“ Dorr. “ dan kali ini Papanya mengakhiri hidupnya sendiri.

◊◊◊
Hari yang sangat melelahkan bagi Tasya. Ia rebahkan tubuhnya di atas tempat tidurnya. Ia coba pejamkan matanya. Tapi dering handphonenya mencoba menganggu istirahatnya.
“ Halo. “
“ Selamat malam. “ suara di seberang sana sangat berat dan asing di telinganya.
Setelah mendengarkan orang di seberang telepon itu. Ia tersentak kaget. Kabar yang sangat buruk menghampitinya di malam yang lelah itu. Handphonenya pun terlepas dari genggamannya. Dan air matanya lepas mengalir. Hatinya sangat hancur. Tubuhnya sangat lemas. Rasa sesak di dadanya. Langit seakan runtuh menimpanya.
◊◊◊
Tasya terus menatap tubuh kaku sahabatnya dengan mata basahnya. Baru saja semalam gadis malang ini bercerita panjang lebar dengannya. Sekarang ia harus menyaksikan bibir mungil itu membeku dalam tenangnya. Tasya gak habis pikir, bisa – bisanya om Tirto, Papanya Gisha tega membunuh putri satu – satunya ini. Gisha memang pernah ia lupakan, tapi Gisha tak pernah tergantikan.
0 Responses

Posting Komentar