MT
Nur Rahmaniah
Janganlah lagi kita menunggu
kemampuan yang besar
sebelum kita menjadi pribadi baik
yang melayani sesama,
dan janganlah menunggu
panggilan dari langit
sebelum kita memulai.

Marilah kita menugaskan diri kita
untuk melayani bagi kedamaian hati
dan perbaikan kualitas hidup sesama,
dengan kemampuan apa pun
yang sudah ada pada diri kita.

Marilah kita jadikan pekerjaan
yang membahagiakan sesama
sebagai panggilan hati kita.

Telah dinasehatkan kepada kita,
bahwa

Tuhan tidak memanggil
orang yang mampu,
tetapi Dia memampukan
orang yang terpanggil.

Mario Teguh
Nur Rahmaniah
Luna Tegar



Berkali – kali kakek memandangi kacamatanya. Kacamata kesayangannya yang ia beli dari gaji pertamanya sebagai seorang PNS. Bagi kakek kacamata itu sangat berharga. Karena kacamata itu seorang wanita tercantik di kantornya dapat ia dapatkan, yang sekarang menjadi istrinya. Bertahun – tahun kakek menyimpan kacamata itu dan baru pagi ini kakek membersihknnya kembali. Rencananya besok pagi kakek akan memakai kacamaa itu di acara wisuda anaknya yang terakhir.

Luna hanya mengintip dari kamarnya. Sudah hampir 15 menit ia memperhatikan kakeknya yang senyum – senyum sendiri memandangi kacamata itu di ruang keluarga. Luna ingi mendekati kakek dan meminjamkannya. Karena kakeknya tahu, Luna sangat cerobah.

Luna memutuskan diam di kamar. Ia menunggu kakeknya keluar rumah. Satu jam kemudian, Luna mendengar motor tua kakeknya berbunyi. Ia bergegas menuju jendela kamarnya dan memastikan apakah benar kakeknya sudah keluar dari rumah. Ternayata kakeknya pergi ke pasa dengan nenek. Sekarang ia tinggal sendiri di rumah. Ia pandangi punggung nenek yang sudah menaii motor. Hingga tak terlihat lagi.

Luna menghamburkan diri menuju kamar kakeknya. Ia lihat sebuah kotak kacamata yang terletak di atas meja rias kuno milik neneknya. Segera ia membuka kotak kacamata itu dan ia temukan kacamata yang baru dibersihkan oleh kakeknya itu. ia angka kacamata itu hingga sejajar dengan matanya. Ia putar kacamata itu an a pandangi semua sisinya. Dan kemudian I memakainya, senyum manis Luna terukir saat ia melihat dirinya di cermin.

“Wah, keren juga ya. Yes, aku bakalan ngumpetin kacamata ini dan aku pakai saat ulang tahun Dita nanti malam. Habis itu, baru aku kembalikan.”

Luna menari kegirangan, ia berputar – putar, melompat – lompat hingga kacamata itu jatuh. Ia masih menari – nari, lompatannya pun semakin tinggi, ia tidak sadar kalau kacamata itu sudah tidak ada di wajahnya.

Trakk.

Ia baru menyadari saat ia menginjak kacamata itu. tuuhnya diam beku, mulutnya terbuka lebar. Sesaat kemudian ia angkat kacamata itu. kacamata yang sudah terlapas dari salah satu ganggangnya.

“Ya Allah “teriak Luna.

Luna menghambur diri menuju kamarnya. Ia letakkan kacamata itu di dalam laci meja belajarnya. Kemudian, ia berlari kencang meninggalkan rumah kakeknya.

Dari usia 5 tahun, ia sudah tinggal di rumah itu. peristiwa kecelakan 3 tahun lalu membuat dia harus kehilanagan kedua orang tuanya. Anak semata wayang itu tinggal dengan kakeknya yang sangat tegas dan neneknya yang memiliki disiplin yang sangat tingga. Membuat Luna tumbuh lebih dewasa dari usianya.

xxx

Matahari tenga berkuasa di tangah langit luas. Jam tangan kakek menunjukkan pukul satu siang. Kakek dan nenek memasuki rumah. Semula mereka kira Luna sedang tidur di kamarnya karena rumah terasa sangat sepi. Tapi aat adzan Ashar berkumandang kecurigaan timbul di hati mereka. Karena biasanya Luna mengambil air wudhu dan bergegas ke mesjid untuk menunaikan sholat Ashar dan mengaji.
Kakek mencoba untuk memasuki kama Luna. Tapi yang dia lihat, kosong. Kakek mulai panil, segera ia beritahukan nenek. Mereka segera menghamburkan diri menuju rumah para tetangga untuk menanyai keberadaan Luna. Tapi tak satu pun yang melihat Luna. Leuna memang berlari sangat encang. Pagi hari. Saat semua oang subuk beraktivitas. Kakek an nenek hanya bisa pasrah berdiam diri di kamar.

Ia menunggu kakeknya keluar rumah. Satu jam kemudian, Luna mendengar motor tua kakeknya berbunyi. Ia bergegas menuju jendela kamarnya dan memastikan apakah benar kakeknya sudah keluar dari rumah. Ternayata kakeknya pergi ke pasa dengan nenek. Sekarang ia tinggal sendiri di rumah. Ia pandangi punggung nenek yang sudah menaii motor. Hingga tak terlihat lagi.

Luna menghamburkan diri menuju kamar kakeknya. Ia lihat sebuah kotak kacamata yang terletak di atas meja rias kuno milik neneknya. Segera ia membuka kotak kacamata itu dan ia temukan kacamata yang baru dibersihkan oleh kakeknya itu. ia angka kacamata itu hingga sejajar dengan matanya. Ia putar kacamata itu an a pandangi semua sisinya. Dan kemudian I memakainya, senyum manis Luna terukir saat ia melihat dirinya di cermin.

“Wah, keren juga ya. Yes, aku bakalan ngumpetin kacamata ini dan aku pakai saat ulang tahun Dita nanti malam. Habis itu, baru aku kembalikan.”

Luna menari kegirangan, ia berputar – putar, melompat – lompat hingga kacamata itu jatuh. Ia masih menari – nari, lompatannya pun semakin tinggi, ia tidak sadar kalau kacamata itu sudah tidak ada di wajahnya.

Trakk.

Ia baru menyadari saat ia menginjak kacamata itu. tuuhnya diam beku, mulutnya terbuka lebar. Sesaat kemudian ia angkat kacamata itu. kacamata yang sudah terlapas dari salah satu ganggangnya.

“Ya Allah “teriak Luna.

Luna menghambur diri menuju kamarnya. Ia letakkan kacamata itu di dalam laci meja belajarnya. Kemudian, ia berlari kencang meninggalkan rumah kakeknya.

Dari usia 5 tahun, ia sudah tinggal di rumah itu. peristiwa kecelakan 3 tahun lalu membuat dia harus kehilanagan kedua orang tuanya. Anak semata wayang itu tinggal dengan kakeknya yang sangat tegas dan neneknya yang memiliki disiplin yang sangat tingga. Membuat Luna tumbuh lebih dewasa dari usianya.

xxx

Matahari tenga berkuasa di tangah langit luas. Jam tangan kakek menunjukkan pukul satu siang. Kakek dan nenek memasuki rumah. Semula mereka kira Luna sedang tidur di kamarnya karena rumah terasa sangat sepi. Tapi aat adzan Ashar berkumandang kecurigaan timbul di hati mereka. Karena biasanya Luna mengambil air wudhu dan bergegas ke mesjid untuk menunaikan sholat Ashar dan mengaji.

Kakek mencoba untuk memasuki kamar Luna. Tapi yang dia lihat, kosong. Kakek mulai panil, segera ia beritahukan nenek. Mereka segera menghamburkan diri menuju rumah para tetangga untuk menanyai keberadaan Luna. Tapi tak satu pun yang melihat Luna. Leuna memang berlari sangat encang. Pagi hari. Saat semua oang subuk beraktivitas. Kakek an nenek hanya bisa pasrah berdiam diri di rumah mrnunggu kabar dari para pemuda di kampong itu yang berjanji kepada mereka akan berusaha menari Luna. Kakeknya adalah tokoh masyarakat yang terkenal pintar dan dermawan.berbagai masalah di kampong itu diselelesaikan oleh kakek. Para pemuda kampong itu banyak yang sangat patuh terhaap kakek.

xxx

Sore menjelang, Luna sudah sangat letih setelah sudah jauh dan lama berlari. Rumah dei umah ia datangi untuk meminta minum. Ia terus berjalan, sekarang ia mengitari sebuah pasar. Kakinya terasa sakit. Ia memutuskan untuk istirahat di depan took elektronik mlik orang Tiong Hoa.

Di sana ia melihat seoang anak Tiong Hoa seusianya tengah bercanda dengan kedua orangtuannya yang mungkin adalah pemilik toko ini. Luna terus memperhatikan, ak terasa air mata menees di pipinya.

“Mama, aku butuh Mama. Sekarang.”rintih Luna.

Pemandangan itu tak lepas dariedua mata ibu dari anak Tiong Hoa itu. segera ia masuk ke dalam tokonya dan keluar kembali memawa selembar tisu, sebotol air putih, dan sebungkus roti. Ia dekati Luna.

“Hapus air matamu cantik.”ibu itu menyerahkan tisu, sebool aor putih, dan sebungkus roti itu kepada Luna.

“Terima kasih.”

Luna segera meninggalkan toko itu karena ia tidak mau ada orang lain lagi yang measa kasihan padanya. Pendidikan yang diberikan oleh kakek dan neneknya membuatnya menjadi anak yang kuat. Ia tidak mau menyusahkan orang lain dan bergantung pada orang lain.

xxx

Seusai sholat Maghrib, kakek dan nenk memanjatkan doa. Mereka ingin cucu satu-satunya bisa selamat dan tetap dalam pelukan sang Ilahi.

“Ya Allah, lindungilah cuu kami. Genggamlah dia. Jagalah dia. Kami asih ingin menjalankan amanahMu untuk membesarkannya. Kami masih saying sama dia, ya llah.”tangis nenek pun pecah.

“Lun, kamu dimana ?”rintih kakek sambil menatap langit – langit rumahnya.

xxx

Luna terus erjalan, langkahnya tanpa arah. Ia ingin sekali pulang. Api kacamata rusak it uterus membayangi seakan melaranngnya unuk pulang. Ia belum siap memandang wjah murka kakek. Dan ia belum siap menjalani hukuman karena perbuatannya itu.

Kepala Luna mendadak sakit. Seakan hujan jarum mengahntam kapelanya. Pandangannya kabur. Luna yang mengidap penyakit typus sangat dilarang oleh neneknya untuk terlambat makan dan kelelahan. Sekejap kemudian pandangannya gelap dan tubuhnya terhempas ke jalan raya.

xxx

Jam dinding kuno yang terpajang di dinding ruang keluarga menunjukkan pukul 8 malam. Usana hening hadir di ruangan itu. kakek terus berputar – putar di uangan itu dan sesekali memandang jam dindinguno itu. dan nenek hanya bisa duduk menangis an berdoa.

Keheningan di ruang eluarga itu peah saa segerombol pemuda kamp[ung yang seharian menari Luna memasuki hlaman rumh kakek. Kakek egera berlari eluar rumah yang uga disuul oleh nenek yag memadk tangisnya berhenti. Mereka melihat anak ermp[uan yang sedang terbaring lemas di anataa para pemuda itu.

“Itu Luna. Luna cucu kita.” Kakek berusaha memberitahu nenek yang melanjutkan tabgisnya.

“Luna…”rintih nenek.

Tubuh Luna lemas terbaring di atas ranjangnya. Neneknya dan bberapa ibu – ibu yang tinggal di sekitar rumah enek mencoba menyadarkannya. Sedangkan, kakek engn seksama mendengarkan cerita aripara pemuda yang enemukan Luna.

Para pemuda sangat bersemangat mencari cucu kesayangan Pk Tegar yang terkenal sangat berwibaa. Mereka mencari Luna hingga ke pasar. Mereka berpencar dan menanyakan keberadaan lunapada orang – orang di pasar. Seorang di antara mereka mencoba bertanya pada seoran wnita Tiong Hoa. Ia mnyebutkan cirri – cirri Luna dan wanita itu mengaku melihatnya dan memberitahu kemana Luna pergi.

Para pemuda itu lekas meninggalkan pasar an menuju jalan yang dimaksud oleh wanita Tiong Hoa itu. di tengah alan mereka menemukan Luna yang tak sadarkan diri. Segera mereka membawa Luna kembali ke rumah Pak Tegar. Doa kakek dan nenk dijawab oleh Allah. Allah masih ingin melihat mereka menjalankan amanah untuk menjaga Luna. Luna gadis kecil yang hidup tanpa orang tua. Luna gadis yang tegar, seperti nama kakeknya.

Beberapa menit kemudian, Luna perlahan membuka matanya. Yang pertama kali ia lihat adalah wajah keriput neneknya. Eorang wanita yang telah melahirkan ibunya dan erawat dirinya selama ini. Wajah keriput yang basah karena air mata.

“Luna, kamu sudah sadar, Nak.”

“Nenek.”

Segera nenek memeluk Luna. Mendengar itu kakek pun berlari enuju kamar Luna. Usai nenek memeluk tubuh Luna, kini giliran kakek memeluknya. Luna masih diliputi rasa takut, tapi tasa tenagn mulai hadir saat kakek memeluknya.

“Kamu kemana aja, sayang ?” tanya kakek lembut.

“Maafin aku, Kek.”

“Minta maaf kenapa ?”

“Luna… luna mematahkan ganggang kacmata kakek.”jawab Luna gugup disusul tangisnya.

“Luna, leih baik kakek kehilangan kacamata kesayangan kkek dari pada kehilangan kamu. Kamulah harta yang paling berharga yang kakek miliki. Kakek gak mau kehilangan kamu, Lun. Terus, kenapa kamu gak juju raja sama kakek ?”

“Luna takut, Kek.”

“Kakek tahu kakek memang sangat tegas sama kamu. Tai ini semua kakek lkukan demi kebaikan kamu. Kakek gak mau kamu tumbuh sebagai anak yang rapuh. Kakek pengen tunjukkan sama dunia kalau kalau una cucu kakek tetap tegar tanpa papa dan mama. Kakek kan juga udah mengajarkanmu kalau kamu harus jujur walapun itu pedih dan jangsn pernah sekalipun kari dari masalah.”

“Maafin Luna, Kek. Luna sudah ngeewain Kakek. Luna juga mau mengucapkan erima kasih buat kakek dan nenek, selama ini sudah au jagain Luna. Luna saying sama Kakek, sama Nenek.”

xxx

Malam kian larut, rasa pegal menyerang pungungku. Menulis cerita tentan masa kecilku memang sangat menyenangkan. Dan besok aku akan menelusuri tempat – empat kenangan itu. empat tahun mengenyam pendidikan di Universitas AL – Azhar Cairo membuatku angat rindu dengan kakek an nenek. Sudah ku siapkan agenda tempat – tempat yang akan ku kunjungi jika tiba di kampungnya Luna kecil nanti. Makam kedua oangtuaku tidak luput dari agendaku.

Matahari mulai menampakkan dirinya. Aku pun sudah siap menuju bandara. Tak sabah kaki ini menginjakkan kaki di tanah air tercinta. Sesampainya di Indonesia, ku lihat nenek dan kakek dating menjemputku. Mereka yang diantar oleh Omku. Omku yang wisudanya 16 tahun ang lalu dihadiri olh kakekl tanpa kaamataitu.

Ku lihat tubuh nenek yang semakin tua. Kerudurng masih rapi menutup kelanya. Nenek yang menyambutku dengan senyuman. Senyuman yang sngat manis. Nenekku memang cantik tak jauh beda dari ibuku.

Disampingnya u lihat sosok lelaki tua yang badannya masih tegap. Raut wajahnya masih menggambarkan ketegasan dan ketegaran dalam menjalani hidup ini. Kakekku, aku sangat angga memilikinya.

“Selamat dating cucuku. Selamat dating sarjana. Selamat dating anak Al – Azhar.”kakek tertawa lepas dan memelukku.

Air mat mengalir di sela – sela mataku. Akhirnya aku berhasil membua kakek bangga. Aku berhasil melanjutkan hidup tanpa orang tuaku. Berhasil menjadi Luna yng tegar. Luna cucu Pak Tegar.

“Ayo kek kita kmakam papa sama mama.”

“Apa kamu gak mau istirahat dulu, Lun ?”

“Luna udah gak sabar, Nek. Luna pengen cepat – cepat memberitahu papa sama mama alau Luna sudh bali ke Indonesia.”

Mereka hanya ertawa.

Sesampainya di makam orang tuaku aku langsing menbacakan doa untuk mereka. Selama aku di Cairo aku hany bisa melihat fotomereka. Fto mereka satu – satunya yang maku miliki. Foto yang selalu ku bwa kemanapun aku pergi. Foto yang selalu ku pandangi saat aku merindukan mereka an sebelum ku mentup mata di setipa malamku.

Papa…

Mama…

Ini Luna. Kembali ke tanah kelahiranku.

Rasa rindu memuncak di hatiku saat ku ingat kalian.

Mencari ilmu di negeri orang membuatku semakin membutuhkan kalian.

Kalian yang member nama untukku.

Luna Tegar.

oleh Nur Rahmaniah
Nur Rahmaniah
Nur Rahmaniah

Cerpen 1



Senyum Pengamen Cilik

Tubuhku terasa sakit semua. Bahuku sangat pegal. Seakan habis memikul puluhan kilogram beras. Punggungku terasa sakit karena berjam-jam duduk tegap dihadapan komputer yang juga melelahkan mataku. Langit pun belum menyembunyikan mataharinya. Padahal jam tanganku sudah menunjukkan pukul enam sore. Udara masih sangat panas bercanpur dengan asap knalpot kendaraan. Tapi aku cukup puas dengan AC mudilku ini. Hanya sayangnya sudahhampir 15 menit mobilku belum bergerak selangkah pun juga. Memang sangat macet jalan ini sebab semua orang berlomba mencapai tujuan.

Hal yang paling ku inginkan saat ini adalah terbebas dari macet, sampai ke rumah, mandi dengan air dingin yang menyegarkan tubuhku, dan secangkir the hangat. Namun dalam sekejap lamunanku buyar oleh gadis kecil yang mengetuk kaca mobilku. Segera ku buka kaca itu dan dengan cepat dan sangat kasar ku serahkan uang Rp. 5.000 yang ku ambil dari kantong celanaku. Gadis kecil dengan alat musik yang terbuat dari tutup botol bekas yang tergantung dengan sepotong kayu kecil itu segera mengambil uang Rp. 5.000 yang ajuh di kakinya. Padahal, belum empat ia menyelesaikan lagunya. Dan segera aku menutup kaca mobilku kembali dan mengabaikan sejumlah pasang mata yang memperhatikan betapa kasarnya aku terhadap pengamen cilik itu dan senyum pengamen cilik yang di berikan kepadaku .

Sesampainya di halaman parkir rumahku, segera ku tinggalkan mobilku dan bergegas ke kamar mandi untuk menyegarkan tubuhku yang sangat letih ini. Dan setelah shlat Isya nanti akan ku selesaikan tugas-tugas kantor yang sengaja ku bawa pulang ke rumah.

XXX

Sudah setengah jam dan sudah hamper setengah alum Nidji yang terbaru ku dengarkan Tapi belum juga kedua mataku ini bias terpejam. Padahal, tubuhku ini sudah sangat lelah karena setumpuk pekerjaan di kantor dan di rumah yang sebenarnya juga pekerjaan dari kantor. Kenapa senyum pengamen cilik itu terus memayangiku ? Kenapa ?

XXX

Suara riuh rendah mewarnai rumah makan SEDAP yang letaknya tepat di samping kantorku . Pukul satu sianglah puncak kesibukan di rumah makan ini. Letaknya yang dikelilingi perusahaan-perusahaan membuat tempat inilah yang paling dirindukan para karyawan-karyawan di perusahaan-perusahaan itu saat rasa lapar menyerang mereka.

“Kamu kok kelihatan lemas , Key, Kamu sakit ?” tanya Rifa yang sedang menikmati kentang gorengnya.

“Aku sendiri gak tau, aku kenapa. Pasti ini semua karena anak itu. “kataku memulai cerita.

“Anak ?”

“Kemarin sore, aku terjebak macett. Terus ada pengamen cilik mengetuk kaca mobilku. Terus nyanyi gak jelas gitu. Sebelum lagunya selesai, aku langsung mengambil uang Rp. 5.000 di kantongku dan kulemparkan ke anak itu. Anehnya, anak itu malah tersenyum. Dan senyumnya itu yang bikin aku gak bisa tidur semalaman dan jadi kayak gini.”

Hening sesaat.

“Kamu kok diam aja. Kasih pendapat donk, kasih solusi.” Rifa hanya tersenyum.

“Kamu mau ngikutin anak itu, ganggu hidupku dengan senyummu.

“Semua orang punya caranya sendiri buat mengucapkan rasa terimakasih. Sikap kasar kamu itu sudah makanan kesehariannya. Kamu mau membuka kaca mobilmu aja itu sudah suatu kebaikan bagi dia. Gak anak seberuntung Keysa kecil. Dan gak semua orang bisa kamu perlakukan seperti itu. Gak semua.”perkataan Rifa menyadarkanku. Dan mataku menunjukan kaca-kaca yang siap pecah menjadi air mata.

“Kamu tahu gak. Kenapa Allah mengijinkan senyum itu membayangimu terus. Karena Allah ingin kamu menyadari perbuatanmu dan Allah ingin kamu tahu betapa bahagianya nak itu. Dia tidak sakit hati sedikitpun. Tapi kamu idak boleh seperti itu lagi, Key.”

“Terus, aku harus napain.” Tanyaku dalam tangis penyesalan.

“Kamu harus minta maaf pada anak itu.”

‘Tapi, aku tidak tau di dimana. Pengamen cilik itu jimlahnya banyak di kota ini dan mereka ada di mana-mana, tidak hanya satu tempat.

“Kamu serahin aja semuanya padaku.”

“Beneran.’ Rif kamu mau bantu aku.”

Rifa mengangguk dan berkata “Asal kamu mau berubah”.

“Pastinya donk Plend.”

XXX

Sepulang dari Kantor, aku dan Rifa menuju tempat pengamen cilik itu memberikan senyumnya. Aku yakin ditempat yang sama dan waktu yang sama, pasti aku menemui gadis itu kagi. Namun, ternyata dugaanku salah, aku dan Rifka sudah berusaha mencari anak itu tapi hasilnya nihil.

“Kita harus cari anak itu kemana lagi, Rif.”

“Tenan aja, aku masih punya banyak cara kok. Oh ya, kamu punya duit kan,”

“Berapapun akan ku berikan buat anak itu.”

“Bukan buat anak itu. Gini Loh, Kita harus cari ketempat tiggal atau tempat ngumpul mereka. Tapi kita kesana tidak bisa dengan tangan kosong. Soalnya, aku yakut mereka curiga.”

“Curiga kenapa ?” tanyaku penasaran

“Curiga kalau kita itu agen penjualan anak. Jadi, kita kita kesana membawa nasi bungkus untuk dibagikan kepada mereka. Habis itu lakukan pendekatan, terus Tanya, deh. Tenang aja, ntar aku ikut nyumbang, kok. Selain mencari pengamen cilik itu kita juga bisa beramal, kan.”

Rifa anaknya pinter banget. Aku bersahabat dengan dia sejak SD. Di saat aku ada masalah Rifa selalu memberiku solusi. Dan semua solusinya itu gak pernah menyusahkan aku atau menambah masalah. Aku menyebutnya sebagai “Sahabat Pengadaian”. Karena Pengadaian punya moto menyelesaikan masalah tanpa masalah.

Saat SMP, aku baru mengenl yang namanya cowok. Aku pernah suka sama Ketua OSIS ku yang yang juga siswa teladan dan kapte Basket di sekolahku. Tapi aku takut cintaku ini tak terbalaskan. Namun Rifa berusaha untuk membantu ku. Hingga akhirnya itu yang bertekuk lutut padaku.

Rifa memang bisa menyelesaikan semua masalahku. Semua masalahku tentang apa aja. Namu anehhnya dia selalu menemukan masalah-masalah besar dalam hidupya.

Ia besar dalam keluarga yang Broken Home. Ayahnya meninggalkan Ibu dan kedua anaknya untuk menikah dengan wanita yang lebih kaya. Sekarang ia hanya memiliki ibunya yang mengalami kelainan jiwa.

Ibunya sakit jiwa setelah kakak laki-laki Rifa yang terbujur kaku di kamarnya karena overdosis. Kakaknya adalah anak kesayangan mamanya. Mamanya juga menggantungkan hidup pada kakanya., karena hanya kakanyalah yang sudah bekerja. Mamanya benar-benar tidak menyangka anaknya bisa salah pergaulan. Mamanya menyalahkan semuanya pada Rifa. Karena Mamanya berfikir kehadiran Rifa dikeluarganya yang membuat kesialan-kesialan itu hadir.

Setelah peristiwa meninggalnya kakanya itu. baru ia tahu bahwa dia bukan anak kandung mamanya. Tapi anak selingkuhan Ayahnya. Aku kagum pada Rifa. Kerasnya hidup tak pernah membuat dia mau dikasihani orang. Bahkan, ia berusaha menyelesaikan masalah orang lain dan mencoba membuat semua orang tersenyum. Dengan penuh kasih saying ia merawat mamanya yang bukan orang tua kandungnya. Namun tiap hari ia menyempatkan waktu untuk menjenguk mamanya di Rumah Sakit Jiwa walau kehadirannya tak pernah dirindukan oleh mamanya.

Rifa, kaulah inspirasi dalam hidupku. Kaulah motivator paling ampuh dalam hidupku. Dan, kaulah saudaraku.

“Nah, disni tempat tongkronga mereka. Yuk, kita sama-sama bagikan nasi bungkusnya” Rifa membuyarkan lamunannya.

Aku hanya menganggut semangat.

Kuberikan nasi bungkus satu persatu kepada anak jalanan itu. Dengan sangat lembut perlkuan yang sangat bebeda dari sehari sebelumnya. Saat aku melihat senyum tulus dari pengamen cilik itu. Mereka menerimanya dengan ucapan terima kasih dan senyuman yang sama. Senyuman yang polo ditengah dinginnya kehidupan malam di kota ini.

Ku dekati salah satu anak perempuan yang tengah menikmati nasi bungkusnya.

“Selamat malam.”

“Selamat malam, ka. Terima kasih ya ka, nasinya enak sekali.”

“Sama-sama Adik, O yah Adik kenal dengan anak perempuan seumuran kamu yang bekerja sebagai pengamen, rambutnya sebahu, dan…..” aku mulai mengingat-ingat cirri-ciri anak itu yang mungkin tak dimiliki oleh anak-anak lainnya.

“ Oh ya, dia memakai kalung yang bermata huruf D walau hanya sekejap alu melihat anak itu tapi aku sempat memperhatikan kalung yang dipakai anak itu.

“Oh , itu namanya Dewi.”

“Dewi ? Kalau kamu namanya siapa ?”

“Siti” jawab anak itu

“OK, Siti kamu bisa antar kakak ketempat Dewi”

“Maksudnya ke rumahnya ?”

“Iya”

“Bisa-bisa, rumah gak jauh dari sini kok, ka.”

Segera aku memanggil Rifa yang sedang asyik bercanda dengan anak jalanan lainnya. Siti membawa kita ke subuah rumah kardus.

“ Dewi ada yang mau ketemu sma kamu.” teriak Siti.

Keluarlah sesosokanak perempuan yang raut wajahnya menggambarkan betapa kejam hidup ini.rot matanya terlihat begitu semangat menghadapi tantangan hidu ang mestinya belum ia dapatkan dalam usianya yang masih sangat dini. Ku ndahkan tubuhku hinggasjajar dengannya.

“Kamu masi ingat Kaka ?” nada suara penyesalanku.

“masih, Ka.” Suara yang lembut yang keluar dari bibir yang perbah mengukir senyum inah.

“Maafin Kaka, ya.”

“Maa untuk apa, Ka ?” tanyanya polos.

“Kaka sudah bersifat kasar sama kamu. Kaka waktu itu capek. Kakak gak bisa ngontrol emosiKakak.”

“Kaka gak usah minta maaf. Seharusnya, aku yang meminta maaf sama, Kaka.”

“Minta maaf kenapa ?”ini aku yang balik bertanya.

“Kemarin Kaka ngasih aku uang terlalu besar. Aku pengen ngasih uang kembalian buat Kaka. Tapi uangku gak cukup. Makanya aku uman ngasih senyuman buat Kaka. Walau sebenarnya aku sadar senyumanku gak senilai.

Mandengar perkataan Dewi, Rifa menangis dan berlari ke mobil. Mungkin ia teringat dengan masa kecilnya. Ia yang mantan anak jalanan. Ya Allah, uang 5.000 bagiku itu ecil banget. Tapi bagi Dewi…astagfirullah.

“Dewi itu buat kamu. Kakak ikhlas.”

“Makasih ya, Ka.”

“Oh ya Kakak mau tanya. Tadi sore Kakak cari kamu di tempat kemarin kita ketemu.
Tapi kamu gak ada. Kamu gak kerja hari ini ?”

“ Gak, Ka.”

“Kenapa ?”

“Tadi malam ibuku batuk – batuk. Terus, keluar darah. Untung aja ada uang 5.000 dari Kakak. Uang itu aku pakai untuk beli obat buat ibu. Tapi ibu gak sembuh – sembuh sampai sekarang.”

“Ibu Dewi dimana ?”

“Di dalam.”Dewi menunjuk rumah kardus kecil yang siap hanur denagn hujun selama 5 menit.

Ku lihat di dalamnya ada seorang wanita setengah aya berwajah pucat yang terbaring di samping segelas air putih dan sebuah botol sirup obat batuk yang sudah osong. Uang 5.000 memang hanya cukup untuk satu botol obat itu. Tangisku pcah dan kuhamburkan diriku keluar. Segera ku peluk erat tubuh Dewi. Sekejap ku lihat Siti yang berdiri tepat di samping iti menitikan air matanya. Dan ku rasakan bahuku basah oleh air mata Dewi.

oleh nur rahmaniah